Sabtu, 05 November 2016

Jilbab or Jilbab

Terik mentari sudah menampakkan cahayanya, tak lupa pula sahutan ayam beriringan membangun manusia dari tidurnya. Setelah mandi, aku bersiap dengan pakaian yang semalam sudah kusiapkan. Lalu, kutatap sepilah kain yang dinamakan jilbab itu. Bunda selalu menceritakan kain ini.
“Pakai gak ya?” gumamku sambil memeluk jilbab tersebut, ibu mengajarkan cara untuk memakai jilbab karena dia berkata bahwa kita harus menutup aurat. Namun apakah agama hanya dipandang melalui aurat saja? Tidak bukan, lalu kuletak kembali jilbab itu dan keluar kamar untuk sarapan pagi.
“Lah, kakak mau kemana sayang? Bunda udah bilang, jangan lupa pakai jilbabnya biar gak kemerahan lagi rambutnya,” kata bunda seraya menyerahkan sepiring nasi goreng beserta teh hangat untukku. lalu aku menyantapnya dengan lahap. Setelah selesai, barulah kujawab pertanyaan bunda.
“Kakak mau ketempat kawan bun, ada tugas kelompok yang mau dikerjakan. Gak usah lah bun, lagian panas pakai jilbab tu,” kataku sambil menyeruput teh hangat. Bunda terlihat kecewa dengan jawabanku.
“Iya bunda, kakak pakai,” kataku akhirnya mengalah. Aku tak mau membuat bunda marah ataupun kecewa karena bunda sudah berkorban banyak untukku. Lalu bunda tersenyum lega dan menyerahkan sepilah kain yang semula kuletakkan dikasur.
“Kak, kakak harus tahu kalau jilbab ini banyak kegunaannya,” kata bunda sambil menghelus rambutku. Aku hanya menggangguk tanda ‘ya’ lalu memakai jilbab tersebut. Setelahnya aku berpamitan dengan bunda dan pergi menuju tempat tujuan.
Sepanjang perjalananku, aku selalu bertemu anak sebayaku yang mengenakan jilbab namun lebih panjang dan tebal dariku. “Tidak kepanasan mereka do?” pertanyaan itu selalu kugumamkan. Lalu kulihat dari jauh, ada seorang gadis yang sangat familiar denganku, oh ya! Ana, tapi... Kok beda ya? Balutan gamis membalut tubuhnya, lalu jilbab yang melabuh hingga dada, ditambah lagi sepasang kaus kaki yang menutupi kakinya.
“Assalamu’alaikum,”
“Waalaikumsalam Ana, kamu...” kalimatku terhenti karena terkejutnya aku dengan penampilan Ana yang benar-benar berbeda dari sebelumnya.
“Mau kemana?”
“Aku, mau kerumah Kisha,”
“Kisha tidak di rumah, dia sedang halaqoh hari ini,” halaqoh? Apa itu? Tak pernah kudengar kalimat seperti itu sebelumnya. Lalu Ana berpamitan denganku,
“Aku mau halaqoh juga, kamu mau ikut?” ajakan tersebut kutolak. Lalu aku kembali ke rumah dan merenung tentang kalimat halaqoh itu. Kuambil handphoneku kemudian kukirim pesan ke Kisha.
P; Kisha, kamu kemana sih? Kata Ana kamu halaqoh, kamu bisa tidak jelasin apa itu?
Namun tak kunjung datang balasan dari Kisha, hingga akhirnya dengan terpaksa aku menunggu dan kembali ke rumah. Sekian lama hingga aku pun tertidur.
K; Maaf ya, aku baru pulang dari rumah kakakku. Iya benar, aku halaqoh tadi. Hm, kamu tidak tahu halaqoh? Gini nih, halaqoh itu pengajian lho. Sayang banget kalau gak ikutan. Kamu ikut saja, besok datang ke rumahku jam 7 ok? Pakai jilbab dan khimar ya?
P; Khimar tu apa?
K; Putri, islam itu sudah menentukan pakaian seorang muslimah lho. Jilbab yang kita kenal sebagai penutup kepala ternyata bukan penutup kepala lho, melainkan baju gamis yang panjangnya hingga mata kaki. Khimar itulah yang kita kenal sebagai jilbab alias penutup kepala atau kain yang menutupi bagian kepala dan melabuh hingga dada. Jangan lupa pakai kaus kaki karena aurat kita itu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan ya?
Balasan panjang itu membuatku berpikir hingga lamanya, jadi yang selama ini bunda bilang salah? Atau mungkin bunda tidak tahu tentang ini? Akhirnya kubongkar isi lemari dan kutemukan sepotong gamis dan khimar yang lumayan panjang. Kuletakkan dikasur untuk kupakai besok, lalu kucari kaus kaki dan kutemukan satu pasang.
“Inikan punya bunda? Kira-kira boleh kupakai tidak ya?” lalu aku pergi ke kamar bunda dan bertanya tentang kaus kaki itu.
“Boleh, ambillah untuk kakak,” bunda berkata seraya tersenyum. Lalu aku berterima kasih dan kembali kekamarku. Akhirnya aku tidur untuk menunggu hari esok.
Keesokan harinya.
Setelah mengenakan pakaian yang sesuai dengan prosedur Kisha, akhirnya aku pergi menuju rumahnya. Kutemui dia yang sedang menungguku didepan rumahnya.
Masha allah, Putri kamu cantik lho kalau berbusana seperti itu,” kalimatnya terlontar disaat aku datang menuju tempatnya. Duh, jadi malu nih setelah dikatain begitu sama Kisha. Kulemparkan senyuman manis kearahnya yang sedang menyusulku.
“Ayo, kita halaqoh!” katanya sambil menarik tanganku, aku pun mengikuti komandonya.
Setelah 15 menit perjalanan dengan jalan kaki yang kami tempuh, akhirnya sampailah kami disuatu daerah dan pastinya aku tidak tahu dimana. Kulihat, berdiri sebuah rumah kecil, namun kutemukan banyak sandal yang berkumpul disana. Pasti rumah ini dipenuhi banyak orang gumamku sambil menghitung jumlah kaki yang menggunakan sandal tersebut. Namun, Kisha mengehentikan tingkahku yang terbilang konyol ini dengan memanggilku dan memintaku untuk masuk kerumah tersebut.
Setelah kulihat sejenak, banyak perempuan yang mengenakan pakaian serupa denganku tengah mendengar ceramah dari ustazah yang memimpin perkumpulan halaqoh ini. Kisha mengajakku untuk duduk ditempat yang tersedia.
“Assalamu’alaikum ukhti, maaf ana telat. Ana membawa seorang teman yang ingin belajar juga,” jelas Kisha kepada Sang Ustazah dan langsung mendapat anggukan dari ustazahnya. Lalu Kisha menyikut tanganku seraya berbisik “kenalan dulu dong,”
“Err... Assalamu’alaikum, perkenalkan aku Putri, senang bertemu kalian,” ucapku sedikit gugup melihat tatapan dingin dari mereka. Lalu mereka menjawab salamku dan mengucap ‘hai’ dan kemudian aku diperkenan duduk kembali.
Halaqoh berjalan lancar, dan kuakui halaqoh sangat seru untuk diikuti, bahkan aku tak mau meninggalkan rumah ustazah, jikalau perlu aku akan menginap. Namun tentu saja, aku harus kembali kerumah untuk melakukan aktivitas lain. Untuk beberapa hari kemudian, aku selalu ikut halaqoh bareng Kisha.
*tiga bulan setelahnya
Satu waktu, dimana aku sedang berada di rumah hanya berdua dengan ibu. Saat itu aku bertanya lagi kepada ibu mengenai sepilah kain yang dulu kupanggil jilbab itu.
“Bun, jilbabnya kakak pakai ya bunda” sahutku dari dalam kamar, dan saat itu ibu berada di dapur namun jarak kamarku dengan dapur yang cukup dekat sehingga masih terdengar panggilan.
“Pakailah nak, biar kepalamu tidak kepanasan,” sahut ibu terdengar
“Bukan jilbab yang itu wahai ibu tercinta,” kataku menghampiri ibu, tampak ibu terkejut dengan kehadiranku yang mendadak.
“Kamu ini, mengejutkan saja,”
Suprise ibu,” hiburku yang membuat tawa ibu terbuai. Namun tawa itu langsung terhenti ketika ibu melihatku... Dengan penampilan yang lain.
“Lah, kata kamu pakai jilbab tapi kok gamis sih?”
“Ibu, jilbab yang selama ini kita kenal dengan penutup kepala ternyata bukan loh bu. Melainkan penutup seluruh tubuh alias gamis, dan inilah pakaian yang seharusnya para muslimah kenakan ketika hendak bepergian keluar dari rumahnya,” jelasku kepada ibu, ibu hanya terdiam lalu melanjutkan kegiatan memasaknya.
Dan ini bentuk rasa sayangku agar ibu dan ayah tidak disentuh bara neraka kelak akibat pertanggung  jawaban ibu dan ayah atas auratku yang terumbar kepada lelaki non mahram, gumam hatiku sambil tersenyum dan meninggalkan ibu dengan keasyikannya sendiri.
+selesai+
Note:
“Hendaklah mereka mengulurkan Jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” (QS. Al-Ahzab (33): 59)
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung hingga dadanya.” (QS. An-Nur (24): 31)

 (Sumber judul: Jilbab or Jilbab by Dawat-Hijrahmu Inspirasi Dunia)

0 komentar:

Posting Komentar