Terik
mentari sudah menampakkan cahayanya, tak lupa pula sahutan ayam beriringan
membangun manusia dari tidurnya. Setelah mandi, aku bersiap dengan pakaian yang
semalam sudah kusiapkan. Lalu, kutatap sepilah kain yang dinamakan jilbab itu.
Bunda selalu menceritakan kain ini.
“Pakai
gak ya?” gumamku sambil memeluk jilbab tersebut, ibu mengajarkan cara untuk
memakai jilbab karena dia berkata bahwa kita harus menutup aurat. Namun apakah
agama hanya dipandang melalui aurat saja? Tidak bukan, lalu kuletak kembali
jilbab itu dan keluar kamar untuk sarapan pagi.
“Lah,
kakak mau kemana sayang? Bunda udah bilang, jangan lupa pakai jilbabnya biar
gak kemerahan lagi rambutnya,” kata bunda seraya menyerahkan sepiring nasi
goreng beserta teh hangat untukku. lalu aku menyantapnya dengan lahap. Setelah
selesai, barulah kujawab pertanyaan bunda.
“Kakak
mau ketempat kawan bun, ada tugas kelompok yang mau dikerjakan. Gak usah lah
bun, lagian panas pakai jilbab tu,” kataku sambil menyeruput teh hangat. Bunda
terlihat kecewa dengan jawabanku.
“Iya
bunda, kakak pakai,” kataku akhirnya mengalah. Aku tak mau membuat bunda marah
ataupun kecewa karena bunda sudah berkorban banyak untukku. Lalu bunda
tersenyum lega dan menyerahkan sepilah kain yang semula kuletakkan dikasur.
“Kak,
kakak harus tahu kalau jilbab ini banyak kegunaannya,” kata bunda sambil
menghelus rambutku. Aku hanya menggangguk tanda ‘ya’ lalu memakai jilbab
tersebut. Setelahnya aku berpamitan dengan bunda dan pergi menuju tempat
tujuan.
Sepanjang
perjalananku, aku selalu bertemu anak sebayaku yang mengenakan jilbab namun
lebih panjang dan tebal dariku. “Tidak kepanasan mereka do?” pertanyaan itu
selalu kugumamkan. Lalu kulihat dari jauh, ada seorang gadis yang sangat
familiar denganku, oh ya! Ana, tapi... Kok beda ya? Balutan gamis membalut
tubuhnya, lalu jilbab yang melabuh hingga dada, ditambah lagi sepasang kaus
kaki yang menutupi kakinya.
“Assalamu’alaikum,”
“Waalaikumsalam
Ana, kamu...” kalimatku terhenti karena terkejutnya aku dengan penampilan Ana yang
benar-benar berbeda dari sebelumnya.
“Mau
kemana?”
“Aku,
mau kerumah Kisha,”
“Kisha
tidak di rumah, dia sedang halaqoh hari
ini,” halaqoh? Apa itu? Tak pernah
kudengar kalimat seperti itu sebelumnya. Lalu Ana berpamitan denganku,
“Aku
mau halaqoh juga, kamu mau ikut?”
ajakan tersebut kutolak. Lalu aku kembali ke rumah dan merenung tentang kalimat
halaqoh itu. Kuambil handphoneku kemudian kukirim pesan ke
Kisha.
P;
Kisha, kamu kemana sih? Kata Ana kamu halaqoh,
kamu bisa tidak jelasin apa itu?
Namun
tak kunjung datang balasan dari Kisha, hingga akhirnya dengan terpaksa aku
menunggu dan kembali ke rumah. Sekian lama hingga aku pun tertidur.
K;
Maaf ya, aku baru pulang dari rumah kakakku. Iya benar, aku halaqoh tadi. Hm, kamu tidak tahu halaqoh? Gini nih, halaqoh itu pengajian lho. Sayang banget kalau gak ikutan. Kamu
ikut saja, besok datang ke rumahku jam 7 ok? Pakai jilbab dan khimar ya?
P;
Khimar tu apa?
K;
Putri, islam itu sudah menentukan pakaian seorang muslimah lho. Jilbab yang
kita kenal sebagai penutup kepala ternyata bukan penutup kepala lho, melainkan
baju gamis yang panjangnya hingga mata kaki. Khimar itulah yang kita kenal sebagai jilbab alias penutup kepala
atau kain yang menutupi bagian kepala dan melabuh hingga dada. Jangan lupa
pakai kaus kaki karena aurat kita itu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan ya?
Balasan
panjang itu membuatku berpikir hingga lamanya, jadi yang selama ini bunda
bilang salah? Atau mungkin bunda tidak tahu tentang ini? Akhirnya kubongkar isi
lemari dan kutemukan sepotong gamis dan khimar
yang lumayan panjang. Kuletakkan dikasur untuk kupakai besok, lalu kucari
kaus kaki dan kutemukan satu pasang.
“Inikan
punya bunda? Kira-kira boleh kupakai tidak ya?” lalu aku pergi ke kamar bunda
dan bertanya tentang kaus kaki itu.
“Boleh,
ambillah untuk kakak,” bunda berkata seraya tersenyum. Lalu aku berterima kasih
dan kembali kekamarku. Akhirnya aku tidur untuk menunggu hari esok.
Keesokan
harinya.
Setelah
mengenakan pakaian yang sesuai dengan prosedur Kisha, akhirnya aku pergi menuju
rumahnya. Kutemui dia yang sedang menungguku didepan rumahnya.
“Masha allah, Putri kamu cantik lho kalau
berbusana seperti itu,” kalimatnya terlontar disaat aku datang menuju
tempatnya. Duh, jadi malu nih setelah dikatain begitu sama Kisha. Kulemparkan
senyuman manis kearahnya yang sedang menyusulku.
“Ayo,
kita halaqoh!” katanya sambil menarik
tanganku, aku pun mengikuti komandonya.
Setelah
15 menit perjalanan dengan jalan kaki yang kami tempuh, akhirnya sampailah kami
disuatu daerah dan pastinya aku tidak tahu dimana. Kulihat, berdiri sebuah
rumah kecil, namun kutemukan banyak sandal yang berkumpul disana. Pasti rumah ini dipenuhi banyak orang gumamku
sambil menghitung jumlah kaki yang menggunakan sandal tersebut. Namun, Kisha
mengehentikan tingkahku yang terbilang konyol ini dengan memanggilku dan
memintaku untuk masuk kerumah tersebut.
Setelah
kulihat sejenak, banyak perempuan yang mengenakan pakaian serupa denganku
tengah mendengar ceramah dari ustazah yang memimpin perkumpulan halaqoh ini. Kisha mengajakku untuk
duduk ditempat yang tersedia.
“Assalamu’alaikum
ukhti, maaf ana telat. Ana membawa seorang teman yang ingin
belajar juga,” jelas Kisha kepada Sang Ustazah dan langsung mendapat anggukan
dari ustazahnya. Lalu Kisha menyikut tanganku seraya berbisik “kenalan dulu
dong,”
“Err...
Assalamu’alaikum, perkenalkan aku Putri, senang bertemu kalian,” ucapku sedikit
gugup melihat tatapan dingin dari mereka. Lalu mereka menjawab salamku dan mengucap
‘hai’ dan kemudian aku diperkenan duduk kembali.
Halaqoh berjalan lancar, dan kuakui halaqoh sangat seru untuk diikuti,
bahkan aku tak mau meninggalkan rumah ustazah, jikalau perlu aku akan menginap.
Namun tentu saja, aku harus kembali kerumah untuk melakukan aktivitas lain.
Untuk beberapa hari kemudian, aku selalu ikut halaqoh bareng Kisha.
*tiga
bulan setelahnya
Satu
waktu, dimana aku sedang berada di rumah hanya berdua dengan ibu. Saat itu aku
bertanya lagi kepada ibu mengenai sepilah kain yang dulu kupanggil jilbab itu.
“Bun,
jilbabnya kakak pakai ya bunda” sahutku dari dalam kamar, dan saat itu ibu
berada di dapur namun jarak kamarku dengan dapur yang cukup dekat sehingga
masih terdengar panggilan.
“Pakailah
nak, biar kepalamu tidak kepanasan,” sahut ibu terdengar
“Bukan
jilbab yang itu wahai ibu tercinta,” kataku menghampiri ibu, tampak ibu
terkejut dengan kehadiranku yang mendadak.
“Kamu
ini, mengejutkan saja,”
“Suprise ibu,” hiburku yang membuat tawa
ibu terbuai. Namun tawa itu langsung terhenti ketika ibu melihatku... Dengan
penampilan yang lain.
“Lah,
kata kamu pakai jilbab tapi kok gamis sih?”
“Ibu,
jilbab yang selama ini kita kenal dengan penutup kepala ternyata bukan loh bu.
Melainkan penutup seluruh tubuh alias gamis, dan inilah pakaian yang seharusnya
para muslimah kenakan ketika hendak bepergian keluar dari rumahnya,” jelasku
kepada ibu, ibu hanya terdiam lalu melanjutkan kegiatan memasaknya.
Dan ini bentuk rasa
sayangku agar ibu dan ayah tidak disentuh bara neraka kelak akibat pertanggung jawaban ibu dan ayah atas auratku yang
terumbar kepada lelaki non mahram, gumam
hatiku sambil tersenyum dan meninggalkan ibu dengan keasyikannya sendiri.
+selesai+
Note:
“Hendaklah mereka
mengulurkan Jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” (QS. Al-Ahzab (33):
59)
“Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung hingga dadanya.” (QS. An-Nur (24): 31)
(Sumber judul: Jilbab or Jilbab by Dawat-Hijrahmu Inspirasi Dunia)
0 komentar:
Posting Komentar