“Kue.. kue!!
Kuenya bu, kuenya kak, dibeli-dibeli!!” teriak gadis remaja dengan baju sekolah
putih donkernya yang lusuh mencoba menjual dagangannya.
“Kue.. kue!!”
teriaknya kembali tak ingin kalah dengan suara disekitarnya. Itulah keseharian
gadis belia tersebut, berusaha mengalahkan suara yang lain demi jualannya.
Gadis itu bernama Amel, dia merupakan siswa kelas VIII SMP Negeri disekitar
desanya. Dia juga salah satu siswa berprestasi disekolahnya, tak heran dia
mampu sekolah walau dengan keadaan serba kekurangan.
Amel telah
kehilangan ibunya semenjak ia menginjak usia 5 tahun, ayahnya pun hingga kini
tak pernah ia jumpai, Amel tinggal bersama sanak saudaranya disekitar
lingkungan kumuh. Setiap harinya ia harus berjualan sedini mungkin demi
mendapat uang saku, perjalanan panjang selalu menjadi kesehariannya menuju
sekolah, maklum saja Amel tidak memiliki apapun yang mampu membawanya menuju
sekolah dengan cepat. Semak belukar, derasnya aliran air sungai, jembatan
bergoyang juga selalu menemaninya dalam perjalanan, meskipun keadaan tak begitu
memadai namun dia tak pernah patah arang, dia kerap menjadi juara dikelasnya
peringkatnya pun tak pernah jauh dari peringkat I, tidak hanya itu Amel juga
menjadi salah satu pengurus OSIS disekolahnya.
“Andai aku
memiliki sesuatu untuk sampai kesekolah dengan cepat, dan mungkin sedikit uang
untuk membantu bibi,” gumamnya yang saat ini tengah melewati derasnya aliran
air sungai, bajunya selalu basah ketika melewati sungai namun dia tak merasa terbebani
dengan bajunya, satu hal pasti yang ingin dia capai yaitu; sampai kesekolah dan
menimba ilmu sebanyak mungkin.
“Mengapa,
mengapa hanya aku yang merasakan hidup seperti ini? Mengapa? Tuhan,.. dimana
Keadilanmu untuk makhlukmu? Mengapa hanya aku yang harus merasakan hal ini?”
lirihnya sambil beristirahat sejenak. Dengan harapan akan terjadi suatu hal
namun hasilnya nihil, hanya rumput bergoyang.
“Sudah lupakan,
seharusnya aku segera kesekolah,” tukasnya sambil berlari secepat mungkin
menuju sekolah.
Bel istirahat
pun berbunyi, Amel memutuskan untuk duduk diam didalam kelas sambil mengulang
kembali pelajaran yang telah dipelajarinya bersama guru tercintanya; buk Intan.
“Amel! Sedang apa kamu!?” kejut salah seorang temannya, Cici.
“Aku hanya
mengulang pelajaran, ci,” jawab Amel tenang.
“Hey, kamu tidak
pergi kekantin?” tanya Sekar.
“Uh tidak, aku tidak
lapar,” jawab Amel bohong.
“Atau mungkin
kamu ingin ‘menabung’ lagi?” jawab Gusna tenang, suasana hening sementara,
terdengar bisikan lirih dari bibir Amel.
“Iya,”
“Nah, aku punya
uang lebih dikasih mama tadi, kamu belilah sesuatu dan simpan saja
kembaliannya,” kata Sekar sambil menyerahkan uang sebesar sepuluh ribu ke Amel.
“Tidak perlu
Sekar,” jawab Amel mencoba menolak.
“Simpan saja,
aku ikhlas kok,” jawab Sekar dengan nada memaksa, mau tidak mau Amel pun menerima
uang yang diberikan Sekar.
“Te.. terima
kasih, Sekar,..” jawab Amel dengan nada lemah.
“Tidak perlu,
Amel kalau kamu butuh bantuan, kamu cukup bilang masalahnya, kami akan mencoba
membantu walau terkadang tidak berhasil,” jawab Cici sambil meneguk air mineral
yang dibelinya tadi.
“Kamu serius
saja ci, Amel kalau ada masalah bilang ya? Kami bantu kok,” jawab Gusna sambil
memeluk Amel erat.
“Terima kasih,
teman-teman,” jawab Amel terisak.
“Terima kasih
kembali,” jawab Sekar ikut bergabung.
Jam pelajaran
pun berakhir, dan bel menandakan bahwa seluruh siswa telah diperbolehkan
kembali pulang, namun..
“Pengumuman,
bagi siswa yang ingin mendaftarkan diri untuk perlombaan dalam rangka hari
Kartini, silahkan mendaftar ke Rini kelas VIII-D, terima kasih.” Terdengar
pengumuman melalui speaker yang bergantung di dinding lorong sekolah.
“Hey, dengar kah
kalian? Akan ada lomba untuk hari Kartini! Kita ikutan yuk!” jawab Sekar
bersemangat.
“Aku tidak
tahu,” jawab Amel dengan nada penuh keraguan.
“Ayolah mel,
lombanya itu baca Puisi, buat Cerpen, lomba Teater, Vokal solo atau Grup, dan
Fashion show, kamu kan punya karangan yang bagus! Kenapa tidak ikut lomba saja?”
rayu Cici memeluk tangan Amel.
“Tapi..,”
“Tidak bertapi-tapi,
kita akan ikut lomba tulis Cerpen, kecuali untuk Sekar yang hobi Fashion show.
Aku akan mendaftarkan nama kita ke Rini untuk lomba, sampai besok!” lugas Gusna
sambil melambai tangannya menjauh menuju kelas VIII-D.
“Tapikan aku
tidak setuju,” jawab Amel.
“Mel, kalau
menang lumayan loh, dapat uang, trophy, sertifikat, dan perlengkapan sekolah
loh,” jawab Sekar santai.
“Namun apa yang
akan kubuat?” tanya Amel dengan suara lirih.
“Mereka
mengangkat tema tentang persahabatan, mengapa tidak buat cerpen tentang sahabat?”
jawab Cici penuh harapan.
“Hm, baiklah
akan kubuat besok, aku harus segera pulang nih, dah teman-teman!” teriak Amel
berlari menuju gerbang sekolah.
Diperjalanan
Amel hanya termenung memikirkan perlombaan yang akan diadakan lima hari dari
sekarang.
“Mungkin inilah
jawaban dari do’aku tadi,” jawabnya menatap langit biru.
“Aku harus bisa
memenangkan lomba itu, harus menang!” teriak Amel menerawang langit.
Sesampainya.
“Amel, sudah
sampai. Mari makan nak,” ajak Bibi Marta menyuguhkan sepiring nasi dengan sisa
lauk kemarin.
“Eh bibi tahu
tidak? Sekolah mengadakan lomba loh bi! Katanya kalau menang lomba bisa dapat
uang, trophy, sertifikat, dan perlengkapan sekolah,” kata Amel tak
henti-hentinya tersenyum bahagia, bibinya tertawa melihat semangat
keponakannya.
“Nak, ikutilah
lomba itu, bibi selalu mendukungmu,” kata bibi Marta menghelus kepala Amel yang
teralaskan oleh hijab sekolahnya.
“Bibi terima
kasih!” teriak Amel bahagia seraya memeluk bibinya, bibi Marta pun membalas
pelukan Amel dan mencium keningnya.
“Kamu pasti bisa
nak, kamu pasti bisa,” bisik bibi menenangkan kegundahan hati Amel tentang
ketidak-inginannya ikut lomba.
*keesokan
harinya
“Jadi bagaimana?
Apa tema untuk cerpen kita?,” tanya Sekar tengah melahap kue bolu yang dibawanya
dari rumah.
“Makan dulu baru
ngomong. Mereka meminta kita menuliskan masa lalu kita,” jawab Gusna sambil
menghelus kepalanya.
“Heheh, maaf,”
tawa Sekar.
“Lah, tentang
sahabat?” tanya Cici tidak percaya.
“Tidak jadi,”
jawab Gusna tenang.
“Jadi bebas yang
mana saja?” tanya Amel membaca buku yang dipinjamnya di perpustakaan sekolah.
“Yups,” jawab
Gusna singkat sambil meminum teh hangat yang dibawanya.
“Jadi kapan
pengumpulan naskah cerpennya na?” tanya Cici.
“Dua hari lagi
batasnya,” jawab Gusna.
“Baiklah, terima
kasih Gusna untuk informasinya, aku pasti akan membuat naskahnya setelah pulang
sekolah,” kata Amel semangat.
“Nah, seperti
itu seharusnya Amel teman kita, bukan yang bisanya pasrah saja,” jawab Sekar
menggoda, mereka berempat pun tertawa.
Sesampai di
istananya, Amel langsung menumpahkan perasaannya ke dalam secarik kertas. Aku akan mengangkat kisah perjalanan anak
desa menuju angkasa sajalah, pikir gadis remaja tersebut yang masih
terhanyut ke dalam naskah cerpennya. Harus
bisa menang! Untuk membantu bibi dengan hasil uang dan juga seritifikatnya
untukku mendaftar beasiswa bulan ini, gumamnya melanjutkan tulisan
cerpennya.
Selang-seling
suara ayam bertautan, sinar mentari menyingsih langit, dan burung pun mulai
berkicau merdu. Amel bangun dengan semangat membara, kamu pasti bisa Amel! Gumamnya langsung beranjak untuk berangkat.
Tidak
bosan-bosannya, arungan sungai menjadi tantangan terakhir Amel menuju sekolah
tempatnya menimba ilmu, disaat melewati jembatan reyot yang ada, tiba-tiba
kertas cerpen yang kemarin ditulisnya terbawa arus angin dan mendarat diarus
sungai yang deras.
“Kertasnya....”
keluh Amel lirih seraya menatap kosong kearah kertasnya yang dengan cepat pergi
mengikuti arus sungai. Sepanjang perjalanan, Amel hanya menatap kosong
lingkungan sekitarnya, lalu, bagaimana
aku mengikuti lomba itu? Sedang inspirasinya sudah lenyap terbawa badai, hatinya
berbisik perih.
“Amel!!!” suara itu, Cici. Selalu datang untuk
mengkagetkanku. Amel menatap mata Cici dengan tatapan kosong, lalu
tertunduk kembali. Nafasnya yang terhembus lirih membuat temannya heran dengan
sikapnya.
“Bagaimana?
Sukses?” tanya Sekar seraya merangkul Amel. Amel hanya menggeleng kepalanya
lalu bertindih kepala dikedua tangannya.
“Apa yang terjadi?” ulang Sekar lagi. Amel hanya
mampu memberi tatapan sedih kepadanya, Sekar yang sepertinya mengerti perasaan
Amel tiba-tiba menyerahkan secarik kertas dengan warna tinta yang perlahan
buram.
“Hey! Naskahnya!
Dimana kamu jumpa?” jawab Amel tiba-tiba semangat, walau karyanya hancur
diselimuti air tadi pagi.
“Yah, ada kertas
yang mengalir di sungai jadi aku mengikutinya, dan ternyata cerpen dan
tulisannya mirip sekali dengan milikmu, jadi kukeringkan lalu kubawa. Yah,
maafkan karena tidak seperti semula keadaannya,” lirih Sekar. Amel dengan haru
menatap lalu tersenyum dan memeluk Sekar. Lalu, disalinnya cerpen itu ke dalam
kertas baru dan memberinya kepada Gusna.
“Lengkap dengan
nama pengarang?” tanya Gusna ragu, namun Sekar meyakinkannya sehingga Gusna
hanya mampu berbalik dan pergi menuju tempat penyerahan persyaratan lomba.
Bersambung
ditunggu kelanjutkan ceritanya
BalasHapus