Sabtu, 05 November 2016

Amel: Anak Desa menuju Angkasa

“Kue.. kue!! Kuenya bu, kuenya kak, dibeli-dibeli!!” teriak gadis remaja dengan baju sekolah putih donkernya yang lusuh mencoba menjual dagangannya.
“Kue.. kue!!” teriaknya kembali tak ingin kalah dengan suara disekitarnya. Itulah keseharian gadis belia tersebut, berusaha mengalahkan suara yang lain demi jualannya. Gadis itu bernama Amel, dia merupakan siswa kelas VIII SMP Negeri disekitar desanya. Dia juga salah satu siswa berprestasi disekolahnya, tak heran dia mampu sekolah walau dengan keadaan serba kekurangan.
Amel telah kehilangan ibunya semenjak ia menginjak usia 5 tahun, ayahnya pun hingga kini tak pernah ia jumpai, Amel tinggal bersama sanak saudaranya disekitar lingkungan kumuh. Setiap harinya ia harus berjualan sedini mungkin demi mendapat uang saku, perjalanan panjang selalu menjadi kesehariannya menuju sekolah, maklum saja Amel tidak memiliki apapun yang mampu membawanya menuju sekolah dengan cepat. Semak belukar, derasnya aliran air sungai, jembatan bergoyang juga selalu menemaninya dalam perjalanan, meskipun keadaan tak begitu memadai namun dia tak pernah patah arang, dia kerap menjadi juara dikelasnya peringkatnya pun tak pernah jauh dari peringkat I, tidak hanya itu Amel juga menjadi salah satu pengurus OSIS disekolahnya.
“Andai aku memiliki sesuatu untuk sampai kesekolah dengan cepat, dan mungkin sedikit uang untuk membantu bibi,” gumamnya yang saat ini tengah melewati derasnya aliran air sungai, bajunya selalu basah ketika melewati sungai namun dia tak merasa terbebani dengan bajunya, satu hal pasti yang ingin dia capai yaitu; sampai kesekolah dan menimba ilmu sebanyak mungkin.
“Mengapa, mengapa hanya aku yang merasakan hidup seperti ini? Mengapa? Tuhan,.. dimana Keadilanmu untuk makhlukmu? Mengapa hanya aku yang harus merasakan hal ini?” lirihnya sambil beristirahat sejenak. Dengan harapan akan terjadi suatu hal namun hasilnya nihil, hanya rumput bergoyang.
“Sudah lupakan, seharusnya aku segera kesekolah,” tukasnya sambil berlari secepat mungkin menuju sekolah.
Bel istirahat pun berbunyi, Amel memutuskan untuk duduk diam didalam kelas sambil mengulang kembali pelajaran yang telah dipelajarinya bersama guru tercintanya; buk Intan. “Amel! Sedang apa kamu!?” kejut salah seorang temannya, Cici.
“Aku hanya mengulang pelajaran, ci,” jawab Amel tenang.
“Hey, kamu tidak pergi kekantin?” tanya Sekar.
“Uh tidak, aku tidak lapar,” jawab Amel bohong.
“Atau mungkin kamu ingin ‘menabung’ lagi?” jawab Gusna tenang, suasana hening sementara, terdengar bisikan lirih dari bibir Amel.
“Iya,”
“Nah, aku punya uang lebih dikasih mama tadi, kamu belilah sesuatu dan simpan saja kembaliannya,” kata Sekar sambil menyerahkan uang sebesar sepuluh ribu ke Amel.
“Tidak perlu Sekar,” jawab Amel mencoba menolak.
“Simpan saja, aku ikhlas kok,” jawab Sekar dengan nada memaksa, mau tidak mau Amel pun menerima uang yang diberikan Sekar.
“Te.. terima kasih, Sekar,..” jawab Amel dengan nada lemah.
“Tidak perlu, Amel kalau kamu butuh bantuan, kamu cukup bilang masalahnya, kami akan mencoba membantu walau terkadang tidak berhasil,” jawab Cici sambil meneguk air mineral yang dibelinya tadi.
“Kamu serius saja ci, Amel kalau ada masalah bilang ya? Kami bantu kok,” jawab Gusna sambil memeluk Amel erat.
“Terima kasih, teman-teman,” jawab Amel terisak.
“Terima kasih kembali,” jawab Sekar ikut bergabung.
Jam pelajaran pun berakhir, dan bel menandakan bahwa seluruh siswa telah diperbolehkan kembali pulang, namun..
“Pengumuman, bagi siswa yang ingin mendaftarkan diri untuk perlombaan dalam rangka hari Kartini, silahkan mendaftar ke Rini kelas VIII-D, terima kasih.” Terdengar pengumuman melalui speaker yang bergantung di dinding lorong sekolah.
“Hey, dengar kah kalian? Akan ada lomba untuk hari Kartini! Kita ikutan yuk!” jawab Sekar bersemangat.
“Aku tidak tahu,” jawab Amel dengan nada penuh keraguan.
“Ayolah mel, lombanya itu baca Puisi, buat Cerpen, lomba Teater, Vokal solo atau Grup, dan Fashion show, kamu kan punya karangan yang bagus! Kenapa tidak ikut lomba saja?” rayu Cici memeluk tangan Amel.
“Tapi..,”
“Tidak bertapi-tapi, kita akan ikut lomba tulis Cerpen, kecuali untuk Sekar yang hobi Fashion show. Aku akan mendaftarkan nama kita ke Rini untuk lomba, sampai besok!” lugas Gusna sambil melambai tangannya menjauh menuju kelas VIII-D.
“Tapikan aku tidak setuju,” jawab Amel.
“Mel, kalau menang lumayan loh, dapat uang, trophy, sertifikat, dan perlengkapan sekolah loh,” jawab Sekar santai.
“Namun apa yang akan kubuat?” tanya Amel dengan suara lirih.
“Mereka mengangkat tema tentang persahabatan, mengapa tidak buat cerpen tentang sahabat?” jawab Cici penuh harapan.
“Hm, baiklah akan kubuat besok, aku harus segera pulang nih, dah teman-teman!” teriak Amel berlari menuju gerbang sekolah.
Diperjalanan Amel hanya termenung memikirkan perlombaan yang akan diadakan lima hari dari sekarang.
“Mungkin inilah jawaban dari do’aku tadi,” jawabnya menatap langit biru.
“Aku harus bisa memenangkan lomba itu, harus menang!” teriak Amel menerawang langit.
Sesampainya.
“Amel, sudah sampai. Mari makan nak,” ajak Bibi Marta menyuguhkan sepiring nasi dengan sisa lauk kemarin.
“Eh bibi tahu tidak? Sekolah mengadakan lomba loh bi! Katanya kalau menang lomba bisa dapat uang, trophy, sertifikat, dan perlengkapan sekolah,” kata Amel tak henti-hentinya tersenyum bahagia, bibinya tertawa melihat semangat keponakannya.
“Nak, ikutilah lomba itu, bibi selalu mendukungmu,” kata bibi Marta menghelus kepala Amel yang teralaskan oleh hijab sekolahnya.
“Bibi terima kasih!” teriak Amel bahagia seraya memeluk bibinya, bibi Marta pun membalas pelukan Amel dan mencium keningnya.
“Kamu pasti bisa nak, kamu pasti bisa,” bisik bibi menenangkan kegundahan hati Amel tentang ketidak-inginannya ikut lomba.
*keesokan harinya
“Jadi bagaimana? Apa tema untuk cerpen kita?,” tanya Sekar tengah melahap kue bolu yang dibawanya dari rumah.
“Makan dulu baru ngomong. Mereka meminta kita menuliskan masa lalu kita,” jawab Gusna sambil menghelus kepalanya.
“Heheh, maaf,” tawa Sekar.
“Lah, tentang sahabat?” tanya Cici tidak percaya.
“Tidak jadi,” jawab Gusna tenang.
“Jadi bebas yang mana saja?” tanya Amel membaca buku yang dipinjamnya di perpustakaan sekolah.
“Yups,” jawab Gusna singkat sambil meminum teh hangat yang dibawanya.
“Jadi kapan pengumpulan naskah cerpennya na?” tanya Cici.
“Dua hari lagi batasnya,” jawab Gusna.
“Baiklah, terima kasih Gusna untuk informasinya, aku pasti akan membuat naskahnya setelah pulang sekolah,” kata Amel semangat.
“Nah, seperti itu seharusnya Amel teman kita, bukan yang bisanya pasrah saja,” jawab Sekar menggoda, mereka berempat pun tertawa.
Sesampai di istananya, Amel langsung menumpahkan perasaannya ke dalam secarik kertas. Aku akan mengangkat kisah perjalanan anak desa menuju angkasa sajalah, pikir gadis remaja tersebut yang masih terhanyut ke dalam naskah cerpennya. Harus bisa menang! Untuk membantu bibi dengan hasil uang dan juga seritifikatnya untukku mendaftar beasiswa bulan ini, gumamnya melanjutkan tulisan cerpennya.
Selang-seling suara ayam bertautan, sinar mentari menyingsih langit, dan burung pun mulai berkicau merdu. Amel bangun dengan semangat membara, kamu pasti bisa Amel! Gumamnya langsung beranjak untuk berangkat.
Tidak bosan-bosannya, arungan sungai menjadi tantangan terakhir Amel menuju sekolah tempatnya menimba ilmu, disaat melewati jembatan reyot yang ada, tiba-tiba kertas cerpen yang kemarin ditulisnya terbawa arus angin dan mendarat diarus sungai yang deras.
“Kertasnya....” keluh Amel lirih seraya menatap kosong kearah kertasnya yang dengan cepat pergi mengikuti arus sungai. Sepanjang perjalanan, Amel hanya menatap kosong lingkungan sekitarnya, lalu, bagaimana aku mengikuti lomba itu? Sedang inspirasinya sudah lenyap terbawa badai, hatinya berbisik perih.
“Amel!!!” suara itu, Cici. Selalu datang untuk mengkagetkanku. Amel menatap mata Cici dengan tatapan kosong, lalu tertunduk kembali. Nafasnya yang terhembus lirih membuat temannya heran dengan sikapnya.
“Bagaimana? Sukses?” tanya Sekar seraya merangkul Amel. Amel hanya menggeleng kepalanya lalu bertindih kepala dikedua tangannya.
“Apa  yang terjadi?” ulang Sekar lagi. Amel hanya mampu memberi tatapan sedih kepadanya, Sekar yang sepertinya mengerti perasaan Amel tiba-tiba menyerahkan secarik kertas dengan warna tinta yang perlahan buram.
“Hey! Naskahnya! Dimana kamu jumpa?” jawab Amel tiba-tiba semangat, walau karyanya hancur diselimuti air tadi pagi.
“Yah, ada kertas yang mengalir di sungai jadi aku mengikutinya, dan ternyata cerpen dan tulisannya mirip sekali dengan milikmu, jadi kukeringkan lalu kubawa. Yah, maafkan karena tidak seperti semula keadaannya,” lirih Sekar. Amel dengan haru menatap lalu tersenyum dan memeluk Sekar. Lalu, disalinnya cerpen itu ke dalam kertas baru dan memberinya kepada Gusna.
“Lengkap dengan nama pengarang?” tanya Gusna ragu, namun Sekar meyakinkannya sehingga Gusna hanya mampu berbalik dan pergi menuju tempat penyerahan persyaratan lomba.

Bersambung

1 komentar: