Senin, 23 Mei 2016

Surat Terakhir untuk Ayah

“Kukuruyuk....kukuruyuk“, suara ayam sudah terdengar oleh telingaku, pagipun mulai menyambutku dengan tenang. Hari-hari yang aku lalui selama ini sama dengan hari-hari yang lalu, kujalani hari-hariku dengan penuh semangat walaupun kehidupanku tidak sesemangat jiwaku. Aku mulai melangkahkan kakiku untuk memulai hari. Ibupun sudah menyiapkan sarapan pagi untukku.
              “Aliya , sarapannya sudah siap nak, cepat sarapan nanti terlambat ke sekolah lho,“ Ucap ibu sambil membereskan meja kompor.
              “Iya bu, inikan baru pukul 05.30. Lagi pula sekolah Aliya  dekat bu, ibu tenang saja Aliya  kan anak yang disiplin, haaaa...haaaaaa“. Candaku kepada ibu, sambil menuliskan surat spesial. Kebiasaaanku adalah membuat surat spesial untuk seseorang, aku selalu berharap surat itu dibaca oleh seseorang itu, dia adalah Ayahku sendiri.
              Ya, kelihatannya memang agak aneh membuat surat untuk ayah sendiri, apalagi tinggalnya satu rumah, tapi ayahku tidak tinggal bersamaku lagi sejak aku berumur 6 tahun. Aku telah ditinggal ayah, dan aku tidak pernah berjumpa ayahku lagi. Ayahku telah pergi merantau ke negeri jiran, ayah dulu pernah bilang kepada ibu bahwa ia akan kembali lagi. Tapi sampai aku berumur 14 tahun ini ayah tidak kembali. Ibu sudah mencarinya tapi bertemu.
              Ayah tinggal di Malaysia bersama paman Gio, pamanku. Tapi setelah ditanya, pamanku mengatakan ayah sudah pulang lagi ke Indonesia. Paman Gio putus kontak saat Ayah sudah menyeberang ke Pelabuhan Batam. Padahal jarak Batam-Duri tempatku tinggal tidak begitu jauh. Namun, hingga sekarang ayah belum juga kunjung pulang.
              Aku dan ibu sudah beberapa kali mencari ayah kesana. Berusaha mencari informasi dengan teman-teman ayah yang pernah diceritakan ayah. Namun tak satupun yang tahu keberadaan ayah. Tapi aku tidak akan pernah menyerah, sampai titik darah penghabisan! Semangat! Pantang menyerah! Oke! Waktunya pergi ke sekolah. Dan aku tidak pernah lupa pamit dengan ibu.
              “Ibu, Aliya  pergi sekolah dulu ya, Aliya  doain semoga dagangan ibu laku semua, aamiin. Dan doain Alya juga ya bu semoga Aliya  jadi anak yang pintar”. Ucapku pada ibu sambil menciumi tangannya.
              “Iya sayang, ibu pasti akan selalu doain kamu, kamu kan anak ibu yang paling ibu sayang! Dan anak ibu yang paling cantik“. Goda ibu kepadaku.
              “Ibu bisa adja dech. Alya pamit dulu ya bu, Assalamualaikum “.
              “Wa’alaikumsalam“. Jawab ibu.
***
              “Goes....goes...goes“ Kakiku mulai mengayuh sepeda menuju sekolah, untuk menimba ilmu.
              Sebelum sampai sekolah, aku pergi dulu ketempat spesial. Tak begitu jauh dari rumahku. Sebuah bekas hotel tua yang tidak ditempati. Tepat ditengah kota Duri. Didepan gedung ini, banyak kendaraan berjalan kencang. Aku melangkah kelantai lima gedung itu. Disini aku selalu menerbangkan surat-surat yang kubuat untuk ayah. Aku berharap setiap surat yang akun terbangkan sampai kepada ayah. Memang sih, mustahil rasanya surat bisa sampai keayah yang ada di Dumai tapi aku terus berharap Allah mendengarkan doaku selama ini..
              Proses pembelajaran pun telah berlalu. Bel pulang sekolah pun sudah berbunyi. Artinya semua siswa dan siswi diperbolehkan kerumah masing-masing. Dengan semangat aku pun langsung menggoeskan sepedaku menuju gedung tua. Eh! Maksudku Kantor posku. Aku langsung menerbangkan lagi beberapa surat yang ku buat di sekolah tadi, ya pastinya untuk ayah. Setelah menerbangkan surat itu aku langsung pulang kerumah tercinta ku.
              Tiba-tiba di depan gedung aku disapa seorang pria tua, sepertinya lebih tua dari umur ayahku.
              “Nak!” Ucap orang yang tidak kukenal itu.
              “Hah! Iiiya, Pak?” Tanya ku ter bata-bata. Agak takut aku ketahuan telah memasuki gedung tua ini sendirian.
              “Kamu tau rumah Bu Rahma?” tanya bapak itu kepadaku.
              “Tttttau pak, d dia ibu saya, a ada urusan apa dengan ibu saya pak ?” Tanyaku tambah takut. Wah bahaya kalau bapak ini mengadu pada ibuku. Teriakku dalam hati.
              “Oh... Kamu anak nya ibu Rahma? Bisa antarkan bapak, Nak?” Pintanya
              “Bisa pak, mari pak.” Ajak ku. Aku tak mampu menolak, tetapi aku pasrah saja.
             
              Setiba dirumah, bapak misterius itu duduk disofa dan aku ke dapur memanggil ibu. Cukup lama ibu berbincang dengan bapak misterius itu, sementara aku menguping saja dari kamar. Tiba-tiba ibu meneteskan air matanya.
              “Ibu kenapa nangiis?” tanyaku mendekat.
              “Aaayah mu Aliya ....” tangis ibu semakin kencang.
              “Ayah? Ayah kenapa bu..? Ayah pulang bu? jawab bu...” Tanya ku dengan rasa sedikit senang.
              “Tidak nak... kamu yang sabar ya sayang, ayah, ayah, ayah meninggal Aliya aa.... “
              Sontak aku terkejut mendengar kata-kata ibu tadi, perasaan senangku berubah menjadi kesedihan, aku tidak menyangka akan begini akhirnya. Ayah yang aku harapkan kembali pulang ternyata sudah tidak ada lagi, air mata ku mengalir dengan deras, aku tidak mampu membendung perasaan ku yang hancur.
              Bapak itu memberikan beberapa kertas yang berbentuk pesawat, dan yang membuat aku terkejut adalah pesawat kertas itu persis seperti suratku untuk ayah yang aku terbangkan di hotel tua, surat ku yang berbentuk pesawat.
              “Bu Rahma, ini..” bapak itu menyerahkan pesawat kertas itu.
              “Aaapa ini?” tanya ibu dengan rasa penasaran bercampur bingung.
              “Saya menemukan ini pagi tadi didepan bengkel. Koko pemilik bengkel sebelah hotel tua itu juga memberikan banyak pesawat kertas yang disimpannya kepada saya. Saya baru sadar kalau saya mengenal orang yang dimaksud dalam surat ini. Dulu saya satu kapal dengan Pak Rahmat, hanya kenal dikapal saja. Dan saya berpisah di pelabuhan Batam. Sekitar dua hari kemudian saya mendapat kabar beliau menjadi korban begal. Sementara identitasnya hilang semua. Beliau sudah dimakamkan di Batam didaerah rumah saya. Saya yang mengurusinya sebab saya yang kenal. Namun, sebelum berpisah saya tidak tahu tepat tinggalnya. Beliau hanya menyebut kota Duri.” Bapak bernama Surya itu menjelaskan.
              Air mataku tumpah. Ibu berusaha menenangkanku. Punah sudah harapanku bisa bertemu ayah. Wajah ibu dan pak Surya sudah samar dimataku. Pudar tertutupi air mata.
              “Pak Rahmad banyak cerita tentang anak gadisnya. Dan sangat membanggakan Aliya . Beliau juga sangat rindu pada Alya karena sudah lama tak berjumpa.” Pak Surya terus bercerita, sementara aku tidak bisa menyimak percakapannya dengan ibu sebab rasa sedih yang sangat dalam.
              “Terima kasih ya pak Surya, sudah memberi informasi tentang suami saya, insyaallah kami akan berziarah di makam bapak”. Ucap ibu kepada pak Surya.
              “Sama-sama bu, saya hanya menyampaikan amanah bu, kalau begitu bagaimana jika besok kita sama-sama ke Batam. Kebetulan saya juga mau pulang. Saya menggunakan mobil, namun rusak dan sedang di bengkel sekarang”.
              Setelah mendapat tawaran Pak Surya aku dan ibu langsung ziarah ke makam ayah di Batam. Kami mendo’akan ayah bersama-sama.
              “Ya Allah, ampunilah semua dosa ayah, lapangkanlah kuburan ayah, berikan lah ia tempat yang terbaik disisi-Mu ya Allah, temukanlah kami lagi bersama ayah di syurga Mu ya Allah, Amiiin....”.
              Walau ayah tidak ada di dunia ini lagi, tapi bagi aku dan ibu, ayah tetap ada di hati kami. Sehabis berziarah kemakam ayah, aku langsung pergi menuju Kantor Posku untuk menerbang kan surat terakhir untuk ayah.
              Ayah, semoga ayah tenang ya dialam sana, Aliya  dan ibu selalu do’ain ayah kok. Ayah tenang aja, walaupun kita gak bisa jumpa di dunia, Aliya  sangat yakin Allah pasti mengumpulkan kita di syurga ya yah.
              Ayah, maksih ya udah sangat-sangat sayang sama Aliya , udah besarin Aliya , udah memberi dan mencari nafkah untuk Aliya  dan ibu dan yang paling penting, terima kasih ayah udah menjadi ayah yang terbaik untuk Aliya  selama ayah ada. Jasa ayah gak bakalan Aliya  lupain, Aliya  juga minta maaf kalau Aliya  pernah buat ayah marah waktu kecil, pernah buat ayah kesel sama Aliya, walapun hanya 6 tahun Aliya  bersama ayah. Tapi Aliya  udah bahagia banget, karna udah mendapat kan kasih sayang dari seorang ayah. Aliya  berharap semoga ayah mendengar dan tahu isi surat ini. yaa walaupun dunia kita berbeda, tapi Aliya  yakin hati kita akan tetap bersatu untuk selama-lamanya. Semoga kita bisa berjumpa lagi ya ayah.., Amiiiiiiiiin..!!. Aliya  janji akan jadi anak yang baik dan tegar serta nurut sama ibu.
              Selamat jalan, Ayah... Walaupun ayah udah gak ada, aku dan ibu gak akan pernah goyah! Karna kami tahu, ayah tidak menginginkan kami larut dalam kesedihan. Thank you ayah...

Selesai.

Anisa Putri Salsabila, Lahir di Duri, 04 April 2001. Siswa Kelas 8 SMPN 17 Mandau. Senang menulis cerpen sejak dibangku SMP. Hobi membaca novel.


0 komentar:

Posting Komentar